Artikel ini menjadi penting untuk
penulis ulas di tengah-tengah publik dengan mempertimbangkan bahwa narkotika
golongan III seolah-olah “dianaktirikan” entah karena kekurangpahaman terhadap
penggolongan narkotika atau akibat adanya persepsi yang berkembang di
masyarakat bahwa yang disebut narkotika hanya sebatas pada ganja, shabu,
ekstasi, heroin, maupun kokain, sehingga selain itu mungkin tidak dipahami
sebagai narkotika. Padahal yang terjadi sesungguhnya justru narkotika golongan
III lah yang dapat dengan mudah diperoleh di sekitar kita, tentunya dengan
dampak yang tidak dapat diremehkan. Dampak dari penggunaan narkotika golongan
III memang sebelas dua belas dengan apa yang dialami oleh peminum
minuman keras, sehingga terkadang sulit dibedakan. Namun, yang menjadi catatan
penting adalah kebiasaan meminum minuman keras berkecenderungan tinggi untuk
“naik kelas” menjadi penyalah guna narkotika. Sehingga penting untuk dipahami
semua pihak bahwa maksud dari tulisan ini adalah sebagai media pembelajaran
guna menciptakan pemahaman bersama tentang ancaman bahaya narkotika, khususnya
narkotika golongan III yang sangatlah nyata beredar di tengah-tengah kehidupan
kita yang siap menerkam siapapun tanpa memandang status sosial, umur maupun
jenis kelamin.
Bukti nyata akan kegawatdaruratan
ancaman bahaya narkotika golongan III dapat dilihat dari terbitnya Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor
HK.04.1.35.07.13.3855 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK.04.1.35.06.13.3534
Tahun 2013 tentang pembatalan izin edar obat yang mengandung dekstrometorfan
sediaan tunggal. Keputusan tersebut mulai efektif berlaku sejak tanggal
ditetapkan yakni terhitung 24 Juli 2013. Intisari dari Keputusan Kepala BPOM
tersebut adalah perintah untuk menghentikan produksi dan distribusi; menarik
dari peredaran; dan memusnahkan baik itu berupa bahan baku, bahan
pengemas, produk antara, produk ruahan maupun produk jadi obat yang mengandung
dekstrometorfan sediaan tunggal selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni
2014. Artinya, kesempatan bagi industri farmasi dan distributornya
(termasuk apotek) untuk melakukan kegiatan dimaksud terkait peredaran obat yang
mengandung dekstrometorfan sejatinya telah terlampaui tujuh bulan dari
batas waktu maksimal, 30 Juni 2014. Meskipun demikian tidak lantas kita
berpangku tangan, langkah pro aktif untuk mengimplementasikan Keputusan Kepala
Badan POM tersebut tetap harus dilakukan demi menyelamatkan generasi bangsa
dari dampak buruk narkotika golongan III.
Di antara sekian banyak daftar obat
yang mengandung sediaan tunggal dekstrometorfan yang dibatalkan izin
edarnya menurut Keputusan Badan POM tersebut, yang mungkin paling banyak
beredar dan diketahui oleh khalayak, antara lain Dextromethorpan baik
berupa sirup maupun tablet salut selaput; Komix DT; Bisolvon
Antitusif; Vicks Formula 44 DT, dan Siladex Antitussive.
Sumber : www.google.com
Dekstrometorfan (DXM) sejatinya adalah zat aktif dalam bentuk serbuk berwarna putih dengan fungsi utama sebagai antitusif atau penekan batuk. Lantas mengapa dekstrometorfan cenderung dengan mudah disalahgunakan? Adapun mengenai mengapa dekstrometorfan banyak disalahgunakan akibat beberapa faktor berikut, diantaranya mudahnya dekstrometorfan diperoleh baik di warung maupun apotek; harga dekstrometorfan yang relatif murah; serta adanya persepsi yang berkembang di tengah masyarakat yang menyebutkan bahwa dekstrometorfan “hanya” tergolong sebagai obat bebas dan relatif lebih aman jika dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau psikotropika (disarikan dari InfoPOM Vol.13 No.6 November-Desember 2012). Padahal jika dicermati secara seksama, dekstrometorfan masuk kategori narkotika golongan III yang tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni di urutan kedua dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena.
Di samping faktor pemicu mengapa
dekstrometorfan disalahgunakan tersebut di atas, para penyalah guna
biasanya mengonsumsi dekstrometorfan untuk mendapatkan efek yang mirip
dengan penggunaan ketamin. Padahal ketamin merupakan obat yang digunakan
sebagai anastetik umum (pembiusan), sehingga efek samping yang ditimbulkan
meliputi kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi,
gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, mengantuk bahkan berlanjut hingga
pingsan.
Berkaitan dengan penyalahgunaan
dekstrometorfan, sepanjang tahun 2012 – 2013 Badan Narkotika Nasional
Kabupaten Purbalingga telah menerima dan menangani empat orang pelapor penyalah
guna narkotika golongan III untuk mendapatkan layanan terapi rehabilitasi.
Ironisnya, dari keempat pelapor tersebut semuanya masih dalam usia remaja atau
usia produktif yang mulai mengenal apa itu narkotika dari ajakan, bujukan dan
rayuan teman sebaya. Hasil assesment terhadap keempat pelapor yang
dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga pun menyimpulkan
hasil bahwa terdapat pola umum yang digunakan oleh penyalah guna narkotika
golongan III yakni dengan mengonsumsi sekaligus dekstrometorfan dengan
jumlah 5 hingga 10 bahkan 20 kali dosis normal dalam sekali pemakaian. Artinya,
jika dosis normal resep dokter menganjurkan untuk dikonsumsi banyak 3 kali
dalam 1 hari, maka para penyalah guna dapat mengonsumsi 25 dekstrometorfan
sekali pemakaian, sehingga jika dalam 1 hari terdapat 3 kali pemakaian maka 75
dekstrometorfan yang dikonsumsinya per hari. Disamping itu, yang lebih
memprihatinkan adalah kecenderungan meng-oplos dekstrometorfan
dengan minuman keras. Tentunya, dampak yang ditimbulkan sudah dapat
dibayangkan, setidaknya seperti yang telah disebut di atas, bahkan ada pelapor
yang nyaris mengalami gangguan jiwa akibat terlalu banyak mengonsumsi
dekstrometorfan. Jika mencermati adanya penyalah guna yang melapor diri
untuk mendapatkan layanan terapi rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional
Kabupaten Purbalingga tersebut, maka dapat diartikan bahwa sesungguhnya potensi
ancaman bahaya narkotika golongan III ada dan nyata berada di tengah-tengah
kehidupan kita.
Di samping adanya anggota masyarakat
yang melapor diri, fakta berikutnya yang perlu menjadi perhatian adalah hasil
dari pemetaan wilayah yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten
Purbalingga selama kurun waktu 2012 – 2013, dengan kesimpulan hasil yang perlu
mendapat perhatian khusus dari semua kalangan, yakni nyaris tidak ada satupun
wilayah di Kabupaten Purbalingga yang dapat dikategorikan sebagai “daerah aman”
atau “daerah bebas” dari penyalahgunaan narkotika, khususnya narkotika golongan
III. Metode pemetaan wilayah yang dilakukan salah satunya adalah dengan
memberlakukan tanya jawab interaktif terhadap seluruh peserta kegiatan tes
urine baik di lingkungan pendidikan menengah, lingkungan pendidikan tinggi
(kampus), lingkungan pekerja pemerintah (instansi pemerintah) maupun lingkungan
pekerja swasta.
Oleh karenanya, tak bosan, Badan
Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga terus mengajak kepada seluruh lapisan
masyarakat agar bersama-sama merapatkan barisan, menyatukan derap langkah
antara seluruh elemen masyarakat, Badan Narkotika Nasional, Badan POM dan
Ikatan Apoteker Indonesia, untuk melakukan aksi nyata menangani permasalahan
narkotika, khususnya narkotika golongan III secara konsisten, agresif dan masif
sesuai semangat yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009, keras
terhadap pengedar-bandar-sindikat dan humanis terhadap korban penyalahgunaan
narkoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar