Minggu, 01 Maret 2015

Ancaman Narkotika Golongan III


Artikel ini menjadi penting untuk penulis ulas di tengah-tengah publik dengan mempertimbangkan bahwa narkotika golongan III seolah-olah “dianaktirikan” entah karena kekurangpahaman terhadap penggolongan narkotika atau akibat adanya persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa yang disebut narkotika hanya sebatas pada ganja, shabu, ekstasi, heroin, maupun kokain, sehingga selain itu mungkin tidak dipahami sebagai narkotika. Padahal yang terjadi sesungguhnya justru narkotika golongan III lah yang dapat dengan mudah diperoleh di sekitar kita, tentunya dengan dampak yang tidak dapat diremehkan. Dampak dari penggunaan narkotika golongan III memang sebelas dua belas dengan apa yang dialami oleh peminum minuman keras, sehingga terkadang sulit dibedakan. Namun, yang menjadi catatan penting adalah kebiasaan meminum minuman keras berkecenderungan tinggi untuk “naik kelas” menjadi penyalah guna narkotika. Sehingga penting untuk dipahami semua pihak bahwa maksud dari tulisan ini adalah sebagai media pembelajaran guna menciptakan pemahaman bersama tentang ancaman bahaya narkotika, khususnya narkotika golongan III yang sangatlah nyata beredar di tengah-tengah kehidupan kita yang siap menerkam siapapun tanpa memandang status sosial, umur maupun jenis kelamin.  
Bukti nyata akan kegawatdaruratan ancaman bahaya narkotika golongan III dapat dilihat dari terbitnya Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK.04.1.35.07.13.3855 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia Nomor HK.04.1.35.06.13.3534 Tahun 2013 tentang pembatalan izin edar obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal. Keputusan tersebut mulai efektif berlaku sejak tanggal ditetapkan yakni terhitung 24 Juli 2013. Intisari dari Keputusan Kepala BPOM tersebut adalah perintah untuk menghentikan produksi dan distribusi; menarik dari peredaran; dan memusnahkan baik itu berupa bahan baku, bahan pengemas, produk antara, produk ruahan maupun produk jadi obat yang mengandung dekstrometorfan sediaan tunggal selambat-lambatnya pada tanggal 30 Juni 2014. Artinya, kesempatan bagi industri farmasi dan distributornya (termasuk apotek) untuk melakukan kegiatan dimaksud terkait peredaran obat yang mengandung dekstrometorfan sejatinya telah terlampaui tujuh bulan dari batas waktu maksimal, 30 Juni 2014. Meskipun demikian tidak lantas kita berpangku tangan, langkah pro aktif untuk mengimplementasikan Keputusan Kepala Badan POM tersebut tetap harus dilakukan demi menyelamatkan generasi bangsa dari dampak buruk narkotika golongan III.  
Di antara sekian banyak daftar obat yang mengandung sediaan tunggal dekstrometorfan yang dibatalkan izin edarnya menurut Keputusan Badan POM tersebut, yang mungkin paling banyak beredar dan diketahui oleh khalayak, antara lain Dextromethorpan baik berupa sirup maupun tablet salut selaput; Komix DT; Bisolvon Antitusif; Vicks Formula 44 DT, dan Siladex Antitussive


Sumber : www.google.com

Dekstrometorfan (DXM) sejatinya adalah zat aktif dalam bentuk serbuk berwarna putih dengan fungsi utama sebagai antitusif atau penekan batuk. Lantas mengapa dekstrometorfan cenderung dengan mudah disalahgunakan? Adapun mengenai mengapa dekstrometorfan banyak disalahgunakan akibat beberapa faktor berikut, diantaranya mudahnya dekstrometorfan diperoleh baik di warung maupun apotek; harga dekstrometorfan yang relatif murah; serta adanya persepsi yang berkembang di tengah masyarakat yang menyebutkan bahwa dekstrometorfan “hanya” tergolong sebagai obat bebas dan relatif lebih aman jika dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau psikotropika (disarikan dari InfoPOM Vol.13 No.6 November-Desember 2012). Padahal jika dicermati secara seksama, dekstrometorfan masuk kategori narkotika golongan III yang tertuang dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni di urutan kedua dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena
Di samping faktor pemicu mengapa dekstrometorfan disalahgunakan tersebut di atas, para penyalah guna biasanya mengonsumsi dekstrometorfan untuk mendapatkan efek yang mirip dengan penggunaan ketamin. Padahal ketamin merupakan obat yang digunakan sebagai anastetik umum (pembiusan), sehingga efek samping yang ditimbulkan meliputi kebingungan, keadaan seperti mimpi, rasa kehilangan identitas pribadi, gangguan bicara dan pergerakan, disorientasi, mengantuk bahkan berlanjut hingga pingsan.
Berkaitan dengan penyalahgunaan dekstrometorfan, sepanjang tahun 2012 – 2013 Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga telah menerima dan menangani empat orang pelapor penyalah guna narkotika golongan III untuk mendapatkan layanan terapi rehabilitasi. Ironisnya, dari keempat pelapor tersebut semuanya masih dalam usia remaja atau usia produktif yang mulai mengenal apa itu narkotika dari ajakan, bujukan dan rayuan teman sebaya. Hasil assesment terhadap keempat pelapor yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga pun menyimpulkan hasil bahwa terdapat pola umum yang digunakan oleh penyalah guna narkotika golongan III yakni dengan mengonsumsi sekaligus dekstrometorfan dengan jumlah 5 hingga 10 bahkan 20 kali dosis normal dalam sekali pemakaian. Artinya, jika dosis normal resep dokter menganjurkan untuk dikonsumsi banyak 3 kali dalam 1 hari, maka para penyalah guna dapat mengonsumsi 25 dekstrometorfan sekali pemakaian, sehingga jika dalam 1 hari terdapat 3 kali pemakaian maka 75 dekstrometorfan yang dikonsumsinya per hari. Disamping itu, yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan meng-oplos dekstrometorfan dengan minuman keras. Tentunya, dampak yang ditimbulkan sudah dapat dibayangkan, setidaknya seperti yang telah disebut di atas, bahkan ada pelapor yang nyaris mengalami gangguan jiwa akibat terlalu banyak mengonsumsi dekstrometorfan. Jika mencermati adanya penyalah guna yang melapor diri untuk mendapatkan layanan terapi rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga tersebut, maka dapat diartikan bahwa sesungguhnya potensi ancaman bahaya  narkotika golongan III ada dan nyata berada di tengah-tengah kehidupan kita.
Di samping adanya anggota masyarakat yang melapor diri, fakta berikutnya yang perlu menjadi perhatian adalah hasil dari pemetaan wilayah yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga selama kurun waktu 2012 – 2013, dengan kesimpulan hasil yang perlu mendapat perhatian khusus dari semua kalangan, yakni nyaris tidak ada satupun wilayah di Kabupaten Purbalingga yang dapat dikategorikan sebagai “daerah aman” atau “daerah bebas” dari penyalahgunaan narkotika, khususnya narkotika golongan III. Metode pemetaan wilayah yang dilakukan salah satunya adalah dengan memberlakukan tanya jawab interaktif terhadap seluruh peserta kegiatan tes urine baik di lingkungan pendidikan menengah, lingkungan pendidikan tinggi (kampus), lingkungan pekerja pemerintah (instansi pemerintah) maupun lingkungan pekerja swasta.
Oleh karenanya, tak bosan, Badan Narkotika Nasional Kabupaten Purbalingga terus mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat agar bersama-sama merapatkan barisan, menyatukan derap langkah antara seluruh elemen masyarakat, Badan Narkotika Nasional, Badan POM dan Ikatan Apoteker Indonesia, untuk melakukan aksi nyata menangani permasalahan narkotika, khususnya narkotika golongan III secara konsisten, agresif dan masif sesuai semangat yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009, keras terhadap pengedar-bandar-sindikat dan humanis terhadap korban penyalahgunaan narkoba. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar